Ketertarikan saya tentang isu-isu homoseksual sebenarnya berangkat dari kisah nyata yang saya alami sendiri, that's right i'm gay :), sejak kecil saya selalu merasa berbeda dengan saudara-saudara dan teman-teman laki-laki saya, entahlah kalau mereka menyukai pistol dan pedang, saya justru nyaman dengan boneka susan saya. menginjak remaja muncul keingintahuam dalam diri saya untuk mencari tahu apakah saya ini sakit atau apa, saya juga ingin mengetahui mengapa ada beberapa orang yang memiliki selera yang berbeda. Penyakitkah ? Atau hanya sebuah gaya hidup masyarakat modern ? pertanyaan - pertanyaan tersebut terus berputar di benak saya. memberontak ingin menemukan jawaban.
Ketika saya masuk fakultas psikologi salah satu universitas di Surabaya dengan satu tujuan saya harus berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya. Maka sejak awal semester saya sudah merencanakan akan menyusun skripsi mengenai homoseks. Sejak awal kuliah saya sering membaca text books mengenai homoseksualitas dan hal ini terus berlanjut. Isi - isi buku yang saya baca umumnya sama. Dan tidak ada disebutkan bahwa homoseksualitas adalah suatu bentuk penyakit, gangguan jiwa atau gaya hidup modern. Nampaknya dunia psikiatri dan psikologi sudah tidak lagi mengkategorikan homoseksualitas sebagai penyakit atau gangguan jiwa seperti pemikiran masyarakat umumnya.
Lalu muncul pertanyaan dalam benak saya, kalau dunia psikiatri dan psikologi tidak mengkategorikan homoseks sebagai gangguan jiwa maupun penyakit mengapa masyarakat masih mempermasalahkan keberadaan kaum homoseks ? Berlomba - lomba untuk menyembuhkan kaum homoseks, membawa mereka menuju ruangan psikiater atau psikolog dengan harapan mereka dapat sembuh dan terbebas dari penyakitnya. Benarkah homoseks bisa disembuhkan ?
Menilik pada istilah sembuh sendiri menurut kamus besar bahasa indonesia dapat diartikan sebagai suatu usaha menghilangkan penyakit dari dalam tubuh seseorang, nah kalau homoseksualitas sendiri bukan penyakit atau gangguan jiwa masa iya bisa sembuh ? Bagian mananya yang harus disembuhkan sedangkan kaum gay dan lesbian sendiri merasa tidak ada yang salah dengan mereka baik secara fisik maupun psikologis, yang membedakan mereka hanya selera mereka saja. Lalu mengapa masyarakat menolak ?
Penolakan dari masyarakat adalah suatu hal yang wajar karena masyarakat kita menganut paham heteronormativitas, yaitu suatu norma yang hanya menyetujui atau memaklumi kalau idealnya laki - laki berpasangan dengan perempuan dan sebaliknya, bukannya malah berpasangan dengan sesama jenisnya. Ditambah lagi adanya stigma - stigma negatif terhadap kaum homoseks seperti drugs user dan penganut paham free sex membuat masyarakat beropini homoseksual tidak lebih dari sebatas suatu gaya hidup masyarakat modern yang isinya tidak lepas dari perbuatan - perbuatan negatif yang berujung pada munculnya penyakit seperti HIV/AIDS. Tidak dapat disangkal memang ada kaum gay dan lesbian yang berperilaku demikian tapi tidak sedikit juga kaum gay dan lesbian berprestasi. Kemanakah teman - teman kita yang berprestasi itu ? Mengapa keberadaan mereka tidak pernah terendus oleh masyarakat ?.
Dari beberapa buku yang saya baca dapat saya tarik suatu kesimpulan kalau keberadaan mereka tidak pernah terendus oleh masyarakat karena media massa tidak pernah mengeksposnya, media massa cenderung mengekspos perilaku - perilaku negatif dari kaum homoseks, seperti ketika ada pembunuhan beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh seorang gay, media massa berlomba - lomba mengeksposnya dengan lebih menonjolkan pada homoseksualnya bukan pada kasus pembunuhannya sendiri, sehingga masyarakat akan berpendapat bahwa kaum homoseks adalah seorang pembunuh berdarah dingin, padahal menurut saya siapapun bisa menjadi pembunuh, tidak peduli apapun orientasi seksnya. Saya rasa apabila media massa memberikan porsi berimbang pada masyarakat mengenai dunia homoseksual maka masyarakat akan memperoleh banyak informasi mengenai homoseksual. Informasi yang mungkin selama ini belum terekspos oleh media massa.
Lalu apa penyebab seseorang bisa menjadi homoseks ? Seperti yang sudah sering dibicarakan oleh beberapa pakar psikiatri dan psikologi, penyebab seseorang menjadi homoseks masih dalam perdebatan, ada yang mengatakan faktor - faktor biologis seperti hormon, kromosom dan hypothalamus namun ada juga yang mengatakan faktor-faktor psikososial seperti pola asuh ibu yang dominan dan ayah yang lemah, dan kegagalan dalam fase phallic dalam tahap perkembangan psikoseksual, lebih jauhnya banyak yang mengatakan kalau adanya interaksi keduanya sebagai penyebab.
Bagaimana dengan saya sendiri ? Saya sendiri sependapat ada interaksi antara faktor biologis dan psikososial, dimana faktor biologis sebagai fuel atau bahan bakarnya sedangkan psikososial sebagai triggernya. Atau sederhananya. Inside every homosexuals there's a gay fuel, psychosocials are just trigger to light it. Dan siapa saja yang bisa menjadi homoseksual ? Jawabannya siapa saja bisa berpotensi menjadi homoseks tidak peduli ras, suku, status sosial, agama, dan pekerjaan.
Pada tahun 2011 ini saya sudah dua kali membagikan pemahaman saya mengenai dunia homoseksual, yang pertama pada bulan April 2011 dimana saya mengikuti lomba psychoposter di Universitas Hang Tuah Surabaya, awalnya saya sempat agak takut kalau poster saya akan menuai banyak protes dari penonton lomba, tapi pada hari lomba saya melihat antusiasnya penonton mendatangi poster saya. Saya mendapatkan banyak pertanyaan dari penonton mengenai homoseksual, seperti siapa sajakah yang bisa menjadi homoseksual, apakah homoseksual bisa disembuhkan, dan mengapa seseorang bisa menjadi homoseksual. Pertanyaan - pertanyaan tersebut membuat saya semakin yakin kalau masyarakat kita kurang atau lebih tepatnya belum memahami kalau homoseksual sudah bukan gangguan jiwa maupun penyakit melainkan hanya perbedaan orientasi seks semata.
Pengalaman saya lainnya yaitu pada bulan Agustus 2011 dimana saya berkesempatan menjadi pembicara di Singapura mengenai isu-isu homoseksualitas, disana saya mendengarkan banyak cerita dari peserta dari belahan dunia lain mengenai kondisi homoseksual di negara mereka. Ternyata di Singapura sendiri kondisi homoseksual tidak lebih baik dari Indonesia, kaum homoseksual masih menutup dirinya rapat - rapat, berjuang untuk menjadi orang yang terhormat di masyarakat agar diterima meski dengan itu mereka harus mengorbankan kebahagiaan sendiri.
Dua pengalaman saya tadi benar - benar mengantarkan saya pada suatu refleksi besar bahwa di belahan bumi manapun (terkecuali Belanda) homoseksual masih merupakan isu krusial, bahkan Amerika yang terkenal dengan paham liberalnya masih pro dan kontra mengenai eksistensi kaum homoseks dan dari 50 Negara bagian di Amerika hanya sedikit yang mau mengakui adanya pernikahan sesama jenis.
Akhirnya saya mengajak pada teman - teman gay dan lesbian dimana pun kalian untuk mengembangkan segala potensi dan talenta yang mereka miliki, karena seperti yang sering saya katakan being homosexual doesn’t mean you have to be loser. Dan saya ingin memberi tahu teman - teman gay dan lesbian di luar sana kalau kalian tidak sendirian di dunia ini. Banyak teman - teman gay dan lesbian di luar sana yang memiliki pengalaman seperti kalian, penolakan, diskriminasi, hujatan dan stigma negatif sudah menjadi santapan sehari - hari. Jadikanlah semuanya sebagai pelecut semangat kalian untuk menunjukan pada dunia bahwa menjadi gay dan lesbian tidak berarti harus menjadi seorang pecundang.
Untuk orang tua yang memiliki anak gay atau lesbian. Keterkejutan, rasa marah, kecewa dan sedih yang anda rasakan saat mengetahui anak anda berbeda dari harapan anda merupakan suatu reaksi wajar yang dialami setiap orang tua, karena saya yakin tidak pernah terpikirkan oleh anda kalau suatu saat nanti anak anda justru akan menyukai sesama jenisnya. Memarahi, memukul, berusaha menutup mata, dan selalu mendiskriditkan anak anda merupakan tindakan kurang bijak. Akan lebih bijak apabila anda mulai membuka diri pada isu - isu homoseksual. Di jaman serba canggih dan modern seperti sekarang, internet sudah dapat diakses dimanapun. Anda dapat menggunakan internet sebagai salah satu media anda untuk memahami homoseksualitas, bagi yang tidak memiliki internet dapat membeli buku - buku atau menonton film - film bertema homoseksual. Salah satu film yang saya rekomendasikan untuk orang tua adalah sebuah film yang berasal dari kisah nyata yang berjudul prayers for bobby.
Percayalah semakin anda memahami perbedaan putra - putri anda dan mulai membuka diri untuk berkomunikasi dengan mereka mengenai kehidupan pribadi dan sosial sekaligus belajar mengenali pasangan anak anda akan membuat putra - putri anda merasa sangat dihargai dan menimbulkan keyakinan kalau cinta anda pada mereka tidak akan berubah meskipun mereka berbeda. Iklim seperti ini akan berdampak pada kesejahteraan secara psikologis bagi gay dan lesbian sehingga terhindar dari depresi, penyalahgunaan obat - obatan dan kecenderungan bunuh diri.
Untuk Ibu Mentri Kesehatan dan akademisi saya rasa mereka memiliki peran penting dalam memberikan sosialisasi pada masyarakat bahwa homoseksualitas bukanlah suatu bentuk gangguan jiwa maupun penyakit. Sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti talkshow, poster, iklan atau pakaian.
Nah, demikian tulisan singkat saya mengenai isu tabu yang sebenarnya menarik untuk dibahas namun jarang terekspos karena terbentur ketabuan yang ada di masyarakat. Semoga tulisan ini dapat membuka pintu bagi kesejahteraan psikologis bagi kaum homoseksual dimana pun. Dan masyarakat yang dapat melihat homoseksualitas sebagai suatu bentuk perbedaan selera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar