BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini pembicaraan mengenai homoseksualitas terutama gay semakin terbuka dan menjadi sebuah fenomena menarik untuk dijadikan bahan berdiskusi dalam ranah ilmiah maupun non-ilmiah. Di Indonesia, gay sebenarnya bukan hal baru. Menurut Tan (2005: 19) kurang tereksposnya keberadaan mereka satu atau dua dekade yang lalu, bukan berarti kaum gay tidak ada, hanya saja mereka memilih menutupi diri rapat-rapat. Hal ini karena masyarakat Indonesia masih melihat gay sebagai perilaku tidak bemoral dan dianggap sebagai pembawa penyakit HIV-AIDS (Wijana dalam Soetjiningsih, 2004: 285).
Selain itu, stigma-stigma negatif yang terlanjur menempel pada kaum minoritas ini, seperti penganut free-sex dan drugs menjadikan gay sebagai momok yang menakutkan. Bahkan belakangan gay dicap sebagai seorang pembunuh berdarah dingin atau psikopat karena maraknya pemberitaan oleh media cetak atau elektronik mengenai seorang gay yang melakukan pembunuhan terhadap teman sesama jenisnya.
Harus diakui bahwa media massa baik cetak maupun elektronik memberikan peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai kaum gay dan biasanya ketika terjadi pembunuhan dan pelakunya adalah seorang gay, media massa akan lebih menyoroti mengenai orientasi seksnya dibandingkan dengan peristiwa pembunuhannya sendiri, dan akhirnya akan terbentuk suatu streotipe kalau gay itu adalah seorang yang sadis (Tan, 2005: 109).
Jumlah gay di Indonesia dapat dikatakan cukup banyak. Suatu survey menunjukan 8-10 juta orang di Indonesia pernah terlibat pengalaman homoseks dan sebagian meneruskan pengalamannya. Menurut Dede Oetemo 260.000 dari enam juta penduduk di Jawa Timur ditenggarai memiliki kecenderungan homoseks (http://www.e-psikologi.com).
Hasil survey yang menunjukan angka signifikan tersebut tidak serta merta membuka mata masyarakat mengenai keberadaan kaum gay sebagai bagian dari anggota masyarakat dan mengubah norma-norma yang telah lama ada di masyarakat. Seperti yang sudah diketahui bahwa dalam suatu masyarakat ajaran agama dan tradisi berjalan seiring, maka dari itu masyarakat hanya akan mengesahkan pasangan laki-laki dan perempuan bukan laki-laki dengan laki-laki. Oleh karena itu ketika masyarakat mengetahui ada seorang laki-laki berpasangan dengan laki-laki tentu akan dianggap abnormal atau mengalami gangguan jiwa (Tan, 2005: 26).
Pada tahun 1973 homoseksualitas pernah dikategorikan sebagai gangguan jiwa yang terangkum dalam PPDGJ (Panduan Pedoman Diagnostik Gangguan Jiwa) atau DSM (Diagnostic and Statistical Manuasejak 1973 homoseksualitas sudah dikeluarkan dari daftar DSM maupun PPDGJ yang mana kalau tidak terdapat dalam PPDGJ atau DSM, perilaku tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk gangguan jiwa (Tan, 2005: 27). Di Indonesia sendiri tidak digolongkannya homoseksualitas sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa dimulai sejak tahun 1983 atau sejak PPDGJ II (Oetomo, 2003: 75).
Menurut Psikiater atau psikolog homoseks yang dikatakan mengalami gangguan jiwa adalah homoseks yang egodistonik, yaitu homoseks yang merasa terganggu dengan orientasi seksnya (Oetomo, 2003: 133). Namun pada DSM-IV mereka yang mengalami homoseks egodistonik hanya dianggap sebagai individu dengan distress nyata dan menetap yang disebabkan oleh orientasi seksualnya (Wijana dalam Soetjiningsih, 2004: 285). Bahkan dalam proses terapi kebanyakan para homoseks egodistonik diarahkan untuk menjadi pribadi yang dapat menerima sifat homoseksnya(Oetomo, 2003: 75). Lebih lanjut para ahli mengatakan homoseksualitas hanya merupakan salah satu bentuk orientasi seks (Tan, 2005: 35).
Orientasi seks sendiri dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk tertarik secara fisik maupun seksual pada lawan jenis, sesama jenis, atau bahkan pada dua jenis kelamin. Orientasi seks dibagi menjadi heteroseks, homoseks, dan biseks. Heteroseksual yaitu ketertarikan pada lawan jenisnya. Homoseksual yaitu ketertarikan pada jenis yang sama dan biseksual yaitu ketertarikan pada kedua jenis kelamin. Orientasi seks sendiri relatif menetap dan tidak bisa dirubah (Wijana dalam Soetjiningsih, 2004: 285-286). Bahkan belakangan diketahui tidak ada bukti mengenai terapi yang efektif untuk merubah orientasi seksual seseorang, terapi justru menimbulkan rasa bersalah pada seseorang yang memiliki orientasi seks sejenis (Arvin dkk, 1996: 119). Orientasi seks sendiri menurut American Psychiatric Association (APA) berkembang sepanjang hidup seseorang (http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis).
Secara umum pendapat masyarakat Indonesia tentang kaum homoseks khususnya gay masih negatif. Hal ini disebabkan adanya pengaruh heteronormativitas yang berlaku di masyarakat yaitu secara normal laki-laki hanya boleh mencintai perempuan begitu juga sebaliknya, di luar dari itu maka akan dianggap melawan kodrat, tidak normal dan bertentangan dengan agama (Bulletin GayA Nusantara, 2005: 3) . Hal ini diperkuat oleh Oetomo (2003: 95) yang menyatakan dalam masyarakat Indonesia modern gay merupakan hal yang tidak bermoral. Bahkan dalam masyarakat hubungan homoseks dianggap menyalahi aturan perkawinan , karena di masyarakat berlaku hukum bahwa seseorang harus berpasangan dengan lawan jenisnya bukan dengan sesama jenis (Tan, 2005: 26).
Adanya pengaruh heteronormativitas serta pendapat-pendapat negatif masyarakat tentang perilaku gay, membuat kebanyakan gay menolak keadaan dirinya begitu menyadari orientasi seksnya berbeda dengan kebanyakan orang, umumnya mereka akan berusaha menjauhi objek homoseksnya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan menjalin suatu hubungan heteroseks.
Namun seringkali sebelum memulai menjalin hubungan heteroseks kaum gay dihadapkan dengan pertanyaan “Bisakah saya?”. Pertanyaan ini muncul karena menjalin hubungan heteroseks berarti menambah masalah baru, padahal menjadi individu dengan orientasi seks berbeda di masyarakat saja sudah menjadi masalah berat, ditambah lagi harus menjalin hubungan dengan perempuan yang secara seksual maupun emosi tidak menarik bagi mereka (Simanjuntak, 2008: 120-121).
Bagi sebagian gay mereka akan tetap memilih menjalin hubungan dengan perempuan agar dapat mengubah orientasi seks mereka (Hasan, 1997: 114) ,menyembunyikan orientasi seksual mereka (Carre, 352: 2007), menginginkan anak, demi karir dan agar dapat diterima secara sosial (Advocate Magazine). Namun semakin seorang homo (termasuk gay) menjauhi objek homoseksnya semakin dia merindukan objek tersebut (Tan, 2005: 41).
Seperti individu lainnya, seorang gay juga memiliki hal-hal yang merupakan bawaan dasar seperti dorongan seks dan hal-hal yang sifatnya dipelajari seperti norma-norma. Dan terkadang dorongan-dorongan dasar tersebut sering bertentangan dengan dengan norma-norma. Hal inilah yang kebanyakan dialami oleh gay. Di satu sisi mereka memiliki dorongan untuk menjalin hubungan pada sesama jenisnya karena memang gay hanya tertarik pada jenis kelamin yang sama, di sisi lain mereka harus dihadapkan pada norma-norma yang melarang perilaku homoseksual.
Adanya pertentangan dalam diri yang dialami oleh para gay, terkadang menimbulkan berbagai macam perasaan seperti cemas dan malu. Untuk mengatasi perasaan cemas dan malu, biasanya gay melakukan banyak cara untuk mengatasinya seperti lari dari masalah, berusaha menjadi seperti yang diinginkan oleh lingkungan, mengatur gaya bahasa dan tubuh, serta menjalin suatu relasi heteroseks (Chandra, 2004, Dinamika Psikologis Orientasi Seksual Pada Gay).
Menjalin suatu relasi atau hubungan intim termasuk di dalamnya kebutuhan untuk dicintai dan mencintai adalah hal yang mutlak terjadi dalam setiap diri individu, khususnya ketika seorang individu memasuki usia dewasa awal. Dalam rentang usia tersebut individu dihadapkan pada sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi di antaranya adalah memilih seorang teman hidup, membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak dan mengelola sebuah rumah tangga (Hurlock, 1980). Tak terkecuali yang terjadi pada seorang gay. Selayaknya individu lainnya seorang gay juga membutuhkan teman hidup untuk membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak mereka dan mengelolanya dalam mahligai rumah tangga dengan laki-laki pilihannya. Akan tetapi karena dalam kebanyakan masyarakat gay masih dianggap suatu dosa dan penyakit, maka banyak dari kaum gay yang memilih untuk menutupi keadaan dirinya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Chandra (2004, Dinamika Psikologis Orientasi Seksual Pada Gay, 81: para 2)
“Kaum gay cenderung tidak membuka diri pada orang tuanya, karena mereka tidak dapat memenuhi relasi heteroseks, menyadari hal tersebut banyak kaum gay lebih memilih menutup diri, lebih bersikap pasrah dalam menghadapi keadaan dan menghilangkan dorongan dari keluarga apabila dengan membuka diri, maka ada perasaan-perasaan negatif dari keluarga pada diri mereka“
Padahal menurut Tan (2005: 102) jika orang tua dapat dimasukan sebagai bagian di mana individu gay dapat menyatakan identitas homoseksnya, maka beban batin yang harus dipikul akan semakin ringan. Namun hasil sebuah penelitian (Chandra, 2004) menunjukan gay yang hidup tanpa keluarga misal dengan orang tua atau saudara justru lebih mudah mengekpresikan orientasi seksnya.
Alasan lain yang mendorong seorang gay untuk menjalin hubungan heteroseks, yaitu adanya tuntuntan dari keluarga untuk menikah dan tuntuan dari dalam diri individu yaitu adanya perasaan wajb membahagiakan orang tua, hal ini seperti yang diungkapkan oleh X yang sebentar lagi akan menikah dengan seorang perempuan :
“Perasaanku ya bingung, aku sebenere nggak mau kayak gini (menjalin hubungan heteroseks), tapi karena keadaan (tuntutan keluarga) yang memaksa dan selalu menanyakan kapan aku nikah, akhirnya ya udah…apalagi aku anak tunggal cowok satu-satunya, aku juga mau ngebahagian orang tuaku terutama mama soalnya aku juga nggak mau dicap sebagai anak durhaka, jadi mau nggak mau, aku mau jadian sama cewek”.
Idealnya dalam suatu hubungan baik berpacaran atau menikah terdapat tiga aspek yang terlibat di dalamnya yaitu passion, intimacy dan commitment (Myers, 1999: 453). Duffy (2009: 318) menjelaskan lebih jauh mengenai tiga aspek tersebut. Intimacy adalah aspek emosional dalam suatu hubungan yang meliputi kedekatan, kebersamaan, komunikasi dan dukungan – dukungan lainnya. Passion adalah aspek emosional dalam suatu hubungan yang meliputi gairah dan keinginan untuk menyatu dengan pasangannya. Dan commitment adalah aspek dalam suatu hubungan yang meliputi keinginan dua belah pihak untuk mempertahankan hubungan yang mereka jalani.
Pada fenomena gay yang memilih menjalin hubungan secara heteroseks aspek yang paling banyak terlihat yaitu commitment yang tergambar dari keputusan gay untuk menjalin hubungan dengan perempuan meskipun tidak terdapat unsur passion dan intimacy.
Menjalin hubungan dengan seorang perempuan hanya berlandaskan commitment membuat gay merasa semua hal yang dilakukan dalam hubungan tersebut tidak lebih dari sekedar kewajiban . Hal ini seperti yang diungkapkan oleh X dan Y
“Aku nggak ada perasaan apa-apa pas PDKT sama cewekku, aku ya cuman ngerasa harus aja PDKT ma dia, nggak ada yang namanya nafsu”
“Aku ngerasa pacaran sama perempuan itu kayak suatu kewajiban yang harus aku penuhi, dan selama pacaran aku ngerasa kayak temenan sama temen perempuan”
Hal berbeda justru diungkapkan oleh H dan W, yang saat ini sedang menjalin hubungan dengan laki-laki
“Ya, kalo pacaran sama cowok, ya enak soale ada nafsu, trus tiap minggu pengennya ketemu, pokoknya kebutuhan seks sama lain-lainnya kayak rasa nyaman gitu bisa terpenuhi”
“Cinta sih pasti ada, nafsu apalagi…ya pasti pasti ada dong, lak lucu lek pacaran nggak ada nafsu…”
Pernyataan dari X dan Y yang memutuskan untuk menjalin hubungan dengan perempuan Adanya pernyataan-pernyataan yang bertolak belakang antara mereka-mereka yang memiliki orientasi seks sejenis yang memutuskan menjalin hubungan secara heteroseks dan homoseks, mengantarkan peneliti pada suatu kesimpulan, membangun hubungan dengan seorang perempuan bagi seorang gay akan menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kemudian akan menciptakan suatu gejolak dalam diri individu yang memiliki orientasi seks sejenis namun harus menjalin hubungan secara heteroseks, Gejolak-gejolak tersebut lama kelamaan akan menimbulkan suatu konflik, dimana konflik-konflik tersebut tidak homeostatis, namun bergerak secara terus menerus dan akhirnya menimbulkan suatu dinamika secara psikologis.
Dinamika psikologis sendiri dapat diartikan sebagai suatu pergerakan yang terjadi dalam diri seorang individu yang terdiri dari motivasi, insting, dan konflik-konflik intrapsikis maupun intrapribadi (Valsiner, 2009: 1). Kemamampuan individu melakukan coping pada konflik-konfliknya akan berdampak bagi kondisi psikologisnya, salah satunya terhindar dari gangguan neurosis dan psikosis (Semium, 2006: 50).
Dalam suatu situs online (www.help.com), seorang gay menceritakan bahwa dirinya sudah menikah dengan seorang perempuan selama 22 tahun dan dikaruniai anak. Belakangan muncul keinginan dari laki – laki tersebut untuk bercerai dengan istrinya namun terhalang oleh ketakutannya apabila anak-anaknya mengetahui orientasi seksnya.
I am wanting to get a divource because I have lived a lie with my wife for 22 years. I have two children and don’t know how it is all going to play out. I don’t know what to do. I made a mistake marrying my wife. I love my kids but I am afraid of what will happen to them when it all comes out that I am really gay and that the reason I married my wife was due to the pressure of family and society. I have met the most wonderful man and I don’t want to lose him. As far as the wife is concerned, she knows how to make me feel guilty about all of this. She knows I am gay. Can somebody help me? I don’t want to hurt my kids.
Kaye (2011: 1) menjelaskan bahwa ketika seorang gay memutuskan untuk menikah dengan seorang perempuan sebaiknya memikirkan konsekuensi – konsekuensi ke depannya karena menikah dengan dengan seorang perempuan bagi seorang gay memberi dampak bagi kehidupan gay itu sendiri. Lebih jauh Kaye menjelaskan perasaan tersiksa dan tidak pernah merasa nyaman adalah hal yang paling sering dialami oleh gay yang menikah dengan perempuan
Sementara itu suatu penelitian yang dilakukan oleh Pearcey (2007, The experiences of heterosexual women married to gay or bisexual men) menyebutkan saat seorang gay memutuskan menjalin hubungan dengan seorang perempuan dan pasangan mereka mengetahui orientasi seks mereka, sebanyak 58 % perempuan mengaku merasa marah, sedangkan hanya 24 % yang mengatakan bisa memahami orientasi seks pasangannya.
Dari kajian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa menjalin hubungan secara heteroseks bagi seorang gay tidak hanya memberikan dampak psikologis kepada gay itu sendiri, namun juga pada orang – orang disekitarnya, terutama pasangan perempuannya.
Mengacu pada kajian tersebut peneliti memilih variabel dinamika psikologis untuk diteliti. Tujuan dipilihnya variabel tersebut agar mengetahui secara mendalam konflik – konflik yang terjadi ketika seorang gay memutuskan menjalin hubungan secara heteroseks, sekaligus dampak psikologis yang muncul dari hubungan tersebut. Di samping itu dalam konsep psikologi kajian tentang dinamika psikologis merupakan hal yang sangat penting atau mendasar terhadap pembentukan psychological well being individu.
Adanya fakta bahwa sebanyak 85% gay memilih menjalin hubungan secara heteroseksual karena berbagai alasan (factsandetails.com). Lalu diperkuat oleh hasil survey yang cukup mencengangkan menunjukan sekitar dua juta penduduk dunia yang memiliki orientasi seks sejenis pernah atau sedang memiliki pasangan heteroskes (Advocate Magazine, 2004: 56) membuat penelitian ini menawarkan keunikannya tersendiri dibandingkan penelitian-penelitian terdahulu yang mengangkat fenomena seputar gay yang kebanyakan hanya mengkaji mengenai self concept dan coming out pada gay.
1.2. Fokus Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis pada gay yang menjalin hubugan heteroseks. Dimana pada penelitian ini dinamika psikologis yang menjadi fokus dimulai dari masa kecil sampai masa menjalin hubungan secara heteroseks
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis pada gay yang menjalin hubugan heteroseks.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis
a. Memberikan masukan baru bagi pengembangan teori-teori psikologi klinis khususnya mengenai homoseksualitas dan orientasi seksual.
b. Memberikan masukan bagi perkembangan studi seksualitas khususnya yang menyangkut masalah homoseksual.
Manfaat praktis
a. Bagi Masyarakat
Memberikan tambahan informasi baru mengenai dunia homoseksual, khususnya tentang dunia gay.
b. Bagi Orang tua
Untuk para orang tua yang telah memiliki anak laki-laki yang telah coming out sebagai gay agar dapat memikirkan dengan bijak konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul ketika meminta anaknya untuk menjalin hubungan heteroseks.
c. Bagi kaum gay
Memberikan pemahaman baru pada kaum gay mengenai homoseksualitas, khususnya mengenai gay yang menjalani hidup heteroseks, sekaligus dapat menjadi refleksi bagi kaum gay yang akan memutuskan untuk menjalin hubungan secara heteroseks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Literatur seputar gay
Gay atau homo adalah istilah yang sering digunakan masyarakat untuk menyebut laki-laki yang tertarik pada laki-laki (jenis kelamin yang sama), secara ilmiah homoseks dibagi menjadi dua yaitu laki-laki yang tertarik pada laki-laki yang lazim disebut gay dan perempuan yang tertarik pada perempuan yang sering disebut lesbian.
Gay dapat diartikan sebagai suatu bentuk ketertarikan seorang laki-laki secara erotis pada laki-laki lain (Carrol, 2007: 280), sedangkan Oetomo (2003: 6) menjelaskan gay sebagai laki-laki homoseks yang tertarik secara emosional maupun seksual hanya kepada sesama laki-laki atau dengan kata lain gay sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada perempuan. Dalam menjalin suatu hubungan biasanya para gay lebih cenderung mengutamakan aspek-aspek seksual dalam hubungan mereka (Supratiknya, 1995: 95).
Coleman, Butcher, dan Carson (dalam Supratiknya, 1995: 94-95) menggolongkan homoseksualitas (termasuk gay) ke dalam beberapa jenis, yaitu :
a. Homoseksual tulen, yaitu homoseks yang dalam masyarakat sering diidentikan pada laki-laki yang keperempuanan-perempuanan atau sebaliknya. Di dalam kelompok homoseksual ini adalah para tranvestit yakni mereka yang gemar menggunakan pakaian dan berperilaku seperti lawan jenisnya
b. Homoseksual malu-malu, yaitu mereka yang memiliki dorongan homoseks namun tidak mampu dan tidak berani menjalin suatu hubungan personal yang cukup intim dengan homoseks lainnya
c. Homoseksual tersembunyi, yaitu mereka yang berasal dari kelas menengah dan memiliki status sosial sehingga memilih menyembunyikan orientasi seksnya. Hanya kalangan terbatas saja yang mengetahui orientasi seks mereka, seperti kepada sahabat atau kekasih mereka
d. Homoseksual situasional, yaitu terdapat faktor-faktor situasional yang menyebabkan seseorang melakukan hubungan homoseks, seperti di penjara atau medan perang
e. Biseksual, yaitu mereka yang melakukan hubungan intim secara homoseks dan hetero sekaligus
Di dalam dunia gay terdapat label yang sering dilekatkan pada seorang gay, di mana label ini akan mempengaruhi peran mereka dalam menjalin hubungan homoseks. Menurut Kartono (1989: 248) dalam menjalin suatu hubungan homoseks, ada gay yang berperan sebagai laki-laki (Top), perempuan (Bottom) atau bergantian terkadang berperan sebagai laki-laki tapi juga bisa berperan sebagai perempuan (Versatile).
Dalam ranah psikologi maupun psikiatri gay tidak lagi digolongkan dalam suatu bentuk gangguan jiwa (Wijana dalam Soetjiningsih, 2004: 285), melainkan hanya merupakan suatu bentuk orientasi seksual (Tan, 2005: 35). Oleh karena itu sejak diterbitkannya PPDGJ II tahun 1983 homoseksualitas termasuk di dalamnya gay telah dihapuskan sebagai bentuk gangguan jiwa (Oetomo, 2003: 75).
Penyebab-penyebab mengenai seseorang laki-laki bisa menjadi gay, sampai saat ini masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa gay merupakan hasil bawaan (biologis) atau pengaruh lingkungan (psikososial). Sadarjoen (2005: 49) menyoroti faktor psikososial memberikan andil dalam pembentukan orientasi homoseks, faktor-faktor psikososial yang paling memberikan andil terbesar yaitu keluarga, dimana peran antara ayah dan ibu tidak seimbang, peran yang tidak imbang tersebut umumnya ditunjukan oleh ayah yang lemah dan tidak bijaksana dan ibu yang dominan atau ayah yang dingin, kaku dan kejam.
Pendapat Sadarjoen ini diperkuat oleh pernyataan dari Supratiknya (1995: 97) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab seorang laki-laki memiliki orientasi seks sejenis yaitu karena adanya pengalaman heteroseks yang tidak menyenangkan di mana ibu dominan di rumah sedangkan sosok ayah lemah atau hilang sama sekali, sehingga individu tersebut melihat hubungan heteroseks sebagai sesuatu yang menakutkan.
Selain faktor psikososial, ada satu faktor lagi yang dianggap sebagai penyebab seseorang memiliki orientasi seks berbeda dari orang kebanyakan, yakni faktor biologis. Faktor –faktor biologis yang dianggap sebagai penyebab seseorang memiliki orientasi seks sejenis menurut Carrol (2005: 284), yaitu adanya ketidakseimbangan hormon sebelum kelahiran atau jumlah hormon di saat dewasa. Ketidakseimbangan hormon – hormon tersebut biasanya disebabkan oleh obat-obatan kimia yang dikonsumsi seorang ibu saat hamil, obat-obatan tersebut seperti pil kontrasepsi atau obat-obatan diabetes (Pease, 2008:275).
Pada dasarnya kedua faktor tadi tidak berdiri sendiri, melainkan terjadi interkasi antara keduanya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Kartono (1989: 248) yang menyatakan adanya interkasi antara faktor biologis dan psikososial memberikan pengaruh penting dalam pembentukan orientasi seks sejenis pada laki-laki. Lebih jauhnya Kartono menjelaskan faktor herediter berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks lalu dipicu oleh pengaruh lingkungan yang tidak baik bagi perkembangan kematangan seksual yang normal seperti pengalaman homoseks pada masa remaja yang menggairahkan atau pengalaman traumatis dengan ibu, sehingga menimbulkan kebencian pada sosok ibu dan semua wanita menyebabkan seorang laki-laki memiliki ketertarikan pada sesama jenisnya baik secara fisik maupun erotis.
Dari sudut pandang psikoanalisa menjelaskan bahwa kecenderungan seorang laki-laki memiliki orientasi seks sejenis dikarenakan adanya oedipus complex yang tidak terselesaikan (unresolved Oedipus complex) pada masa kanak-kanak (Maguire, 1995: 199). Oedipus complex sendiri adalah suatu tahapan psikoseksual yang terjadi pada anak-anak di usia 3-5 tahun, pada tahap ini seorang anak laki-laki akan mengalami perasaan cinta pada ibunya dan melihat ayahnya sebagai saingan sehingga anak mengalami kecemasan akan dikebiri oleh ayahnya karena cintanya pada ibunya. Pada tahap ini idealnya anak laki-laki akan menghilangkan rasa cemasnya dengan mencoba membangun rasa percaya pada ayahnya kalau ayah mereka tidak akan mengebiri mereka dan mencoba melakukan identifikasi diri pada ayahnya (Hjelle & Ziegler, 1992: 99-100). Namun apabila peran ibu terlalu dominan sedangkan peran ayah lemah atau dingin dalam keluarga maka anak akan gagal melakukan identifikasi diri pada ayahnya atau yang disebut identifikasi object loss (Tan, 2005: 66), sehingga ketika dewasa nanti anak tersebut akan mencari cinta dari laki-laki lain sebagai bentuk kompensasinya terhadap dominasi ibunya dan tidak adanya figur ayah (Maguire, 1995: 200).
Dari kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gay merupakan istilah yang ditujukan pada laki-laki yang tertarik secara erotis pada sesama jenisnya, sedangkan untuk jenis-jenis gay terdapat beberapa macam yaitu homoseksual tulen, malu-malu, tersembunyi, situasional dan biseksual. Dalam menjalin suatu hubungan biasanya ada gay yang bertindak sebagai laki-laki (aktif), perempuan (pasif) atau bergantian.
Dari kajian di atas dapat dirangkum bahwa penyebab seorang menjadi gay disebabkan oleh adanya interkasi antara faktor biologis seperti hormon, urutan kelahiran, dan fisiologis dan faktor psikososial seperti relasi anak yang tidak imbang antara ibu dan ayah dimana Ibu mendominasi hidup anak dan membiarkan ayah menjadi sosok lemah selain itu pengalaman melakukan hubungan sejenis untuk pertama kali dan menimbulkan kesan positif dalam diri individu sertadanya pengalaman traumatis dengan ibu, sedangkan dari segi psikoanalisa penyebab seorang menjadi gay lebih disebabkan karena Oedipus complex yang tidak terselesaikan (unresolved Oedipus complex) ditenggarai menyebabkan anak memiliki orientasi seks berbeda.
2.2. Kajian Literatur Seputar Dinamika Psikologis
Kata Dinamika jika diartikan secara harafiah maka berarti sesuatu yang bergerak atau tidak tetap (berubah), sedangkan psikologis adalah bagian dari diri individu yang unsur-unsurnya terdiri dari kognitif, afektif, dan konatif di mana ketiga unsur ini saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan terus bergerak. Jadi dinamika psikologis adalah suatu kondisi di mana unsur di dalam diri individu yaitu terus bergerak atau tidak tetap (berubah) sepanjang rentang hidup individu tersebut.
Dalam ranah psikologi banyak tokoh-tokoh psikologi dari perspektif psikoanalisa, behavioristik dan humanistik yang mengkaji mengenai dinamika psikologis individu. Namun pada penelitian ini hanya akan menggunakan kajian dinamika psikologis dari pendekatan psikoanalisa dari Sigmund Freud, Adler dan Jung. Alasan menggunakan pendekatan tiga tokoh tersebut karena hanya ketiga tokoh tersebut yang menjelaskan dinamika psikologis individu secara mendalam.
Tokoh psikoanalisa terkenal Sigmund Freud menjelaskan bahwa secara psikologis dalam diri masing – masing individu terdapat konflik yang muncul akibat adanya dorongan dari dalam individu dan dari luar diri individu di mana konflik-konflik tersebut harus segera dipecahkan oleh individu. Konflik-konflik yang terjadi dalam diri individu menimbulkan suatu sistem energi psikis yang disebut libido. Sistem energi ini akan berinteraksi dengan dunia luar dari dalam diri Individu sehingga terjadi suatu dinamika (Arif, 2006 : 9).
Dalam dinamika tersebut terdapat unsur kepribadian yang selalu berubah-ubah dari kondisi seimbang (equilibrium) menuju kondisi tidak seimbang (disequilibrium) dan kembali ke kondisi seimbang (equilibrium). Perubahan kondisi seimbang menuju kondisi tidak seimbang dalam diri individu disebut ekstitasi yaitu hal-hal dari luar diri individu yang dapat yang menimbulkan hasrat (Arif, 2006: 9-10).
Freud (dalam Hjelle & Ziegler, 1992: 88-91) menjelaskan mengenai struktur-struktur kepribadian dalam diri individu yang juga berperan dalam dinamika psikologis seseorang, yaitu:
a. Id, Struktur kepribadian yang primitif, instiktif dan bawaan yang berisi dorongan-dorongan dasar individu seperti makan, minum, seks, agresi dan dorongan-dorongan tidak masuk akal lainnya. Karena sifat Id yang primitif, instinktif dan bawaan maka Id memegang prinsip kesenangan (pleasure principle) dimana Id selalu berusaha mengurangi tegangan dan memaksimalkan kepuasaan yang biasanya akan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku impulsif, irasional dan narsis yang berlebih, selain itu karena sifatnya yang primitif maka Id tidak mengenal rasa takut ataupun rasa cemas.
b. Ego, struktur kepribadian yang menjembatani Id dengan dunia luar, seperti: persepsi, pikiran-pikiran, belajar dan semua proses mental lainnya. Berbeda dengan Id, ego memegang prinsip realita (reality principle) di mana ego akan memutuskan kapan dan bagaimana dorongan-dorongan dari Id dapat terpenuhi tanpa membahayakan diri sendiri dan orang lain.
c. Superego, struktur terakhir dari kepribadian, dimana struktur ini menggambarkan sesuatu yang salah dan benar, yang biasanya kedua hal tersebut diperoleh dari pujian atau hukuman. Freud juga membagi superego menjadi dua subsistem yaitu conscience (suara hati) yang diperoleh melalui hukuman yang diterima individu dan ego-ideal yang muncul melalui penghargaan yang diberikan kepada individu.dimana ego ideal ini menyangkut standar kesempurnaan yang diperoleh dari orang tua
Biasanya ketika ego merasa terancam oleh dorongan-dorongan Id, dunia luar dan superego maka akan muncul perasaan tidak menyenangkan dalam diri individu yang sering dikenal dengan istilah kecemasan (anxiety).
Kecemasan menurut Freud (dalam Hjelle & Ziegler, 1992: 103) dibagi menjadi tiga, yaitu : kecemasan yang merupakan respon bahaya-bahaya dari dunia luar (reality anxiety), kecemasan yang berasal dari dalam diri individu ketika individu tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan instinknya (neurotic anxiety) dan kecemasan yang muncul ketika individu melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (moral anxiety)
Dalam melihat kecemasan, Freud berpendapat bahwa kecemasan merupakan hal yang tidak dapat dielakan dari diri manusia dan untuk mengurangi kecemasan biasanya individu akan melakukan ego defense mechanism, yaitu strategi alam bawah sadar yang dilakukan oleh individu untuk mengurangi kecemasan, yang menurut Sarwono, (1998: 124) ego defense mechanism memiliki dua ciri, yaitu : mengabaikan atau mengacaukan realitas serta bekerja pada taraf ketidaksadaran individu.
Sistem-sistem pertahanan ego (ego defense mechanism) yang dilakukan individu untuk mengurangi kecemasan, oleh Freud dibagi menjadi delapan (Hjelle & Ziegler, 1992: 104-105), yaitu:
a. Repression, menurut Freud represi merupakan mekanisme pertahanan ego yang dasar, mekanisme ini mengatasi kecemasan dengan cara menekan dorongan-dorongan yang tidak menyenangkan ke alam bawah sadar
b. Projection, bentuk mekanisme pertahanan ego dimana individu melemparkan atribusi yang dimilikinya pada orang lain, contoh :
c. Displacement, bentuk mekanisme pertahanan ego dimana individu melampiaskan perasaanya atau dorongan-dorongannya dari objek yang lebih kuat ke objek yang lebih lemah
d. Rationalization, bentuk mekanisme pertahanan ego dimana individu berusaha mencari pembenaran atas tindakannya
e. Reaction Formation, bentuk mekanisme pertahanan ego dimana dorongan-dorongan yang tidak diinginkan dari dalam diri individu diekspresikan dalam bentuk perilaku yang berlawanan
f. Regression, bentuk mekanisme pertahanan ego dimana untuk mengurangi kecemasan individu bertingkah laku seperti anak-anak
g. Sublimation, bentuk mekanisme pertahanan ego dimana individu mengekspresikan dorongan-dorongan yang tidak diinginkan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang dapat diterima secara sosial.
h. Denial, bentuk mekanisme pertahanan ego dimana individu verusaha menyangkal peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.
Semua ego defense mechanism di atas menurut Alwisol (2006: 28) memiliki tiga persamaan ciri, yaitu: beroperasi pada tahap ketidaksadaran, manifestasinya dalam bentuk menolak, memalsu, atau memutarbalikkan kenyataan, serta bertujuan mengurangi kecemasan yang dialami individu. Dalam kehidupan sehari-hari menurut Freud individu biasanya akan memakai defense mechanism secara bergantian maupun bersamaan sesuai dengan bentuk ancaman yang dihadapinya (Alwisol, 2006: 38).
Tokoh psikoanalisa lainnya Adler (dalam Hjelle & Ziegler, 1992: 141-142) menjelaskan bahwa kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh individu baik secara fisik maupun non-fisik mendorong individu untuk melakukan kompensasi diri untuk menutupi kekurangannya agar mereka dapat berfungsi baik secara individu maupun sosial.
Jung (dalam Alwisol, 2006: 52) menggambarkan dalam setiap diri individu terdapat archetype persona, di mana persona merupakan peran yang harus dimainkan oleh individu dalam memenuhi harapan dirinya agar diterima oleh masyarakat. Persona dibutuhkan individu untuk survival, membantu mengontrol perasaan, pikiran dan tingkah laku. Namun apabila individu terlalu mengidentifikasikan diri secara penuh pada personanya maka dia akan menjadi individu yang tidak bebas.
Dari kajian literatur di atas maka dapat dirangkum bahwa secara psikologis individu memiliki dorongan-dorongan dasar bawaan dalam dirinya, namum di lain sisi individu juga dihadapkan pada tuntutan-tuntutan dari luar dirinya, seperti norma-norma yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat. Karena adanya perbedaan prinsip yang dimiliki oleh dorongan-dorongan dasar dan tuntutan-tuntutan maka sering timbul konflik antara keduanya. Ketidakmampuan individu dalam mengatasi konflik tadi dapat menimbulkan suatu reaksi psikologis, salah satunya adalah kecemasan.
Bentuk kecemasan yang dihadapi oleh individu dibagi menjadi tiga, yaitu : reality anxiety, neurotic anxiety dan moral anxiety. Dan ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi kecemasannya, seperti: repression, projection, displacement, rationalization, reaction formation, regression sublimation dan denial.
Selain adanya konflik antara dorongan-dorongan dasar dan tuntutan-tuntutan dari luar, secara psikologis individu juga memiliki suatu kecenderungan untuk melakukan kompensasi diri atas kekurangan yang dimiliki baik secara fisik maupun non-fisik. Bentuk kompensasi yang dilakukan oleh individu bertujuan agar individu merasa diakui dan diterima oleh tempat dimana dia tinggal.
Selain kompensasi diri, individu juga akan menggunakan berusaha memainkan peran sesuai dengan keinginan lingkungan agar dapat diakui dan diterima oleh lingkungannya, meskipun individu yang telah terinternalisasi oleh peran yang dimainkannya akan mengalami perasaan tidak bebas.
2.3. Dinamika Psikologis Pada Gay Yang Menjalin Hubungan Heteroseks
Keluarnya homoseksualitas termasuk gay dari PPDGJ dan DSM, tidak lantas membuat persepsi awam mengenai homoseksualitas berubah, banyak yang mempersepsi bahwa homoseskualitas adalah suatu penyakit atau gangguan jiwa. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan dampak psikologis yang cukup berat individu-individu yang memiliki orientasi seks sejenis, dimana di satu sisi mereka memiliki ketertarikan pada sesama jenis, sedangkan di sisi lain masyarakat tempat mereka tinggal masih menolak adanya homoseksualitas sebagai salah satu bentuk orientasi seksual. Dan kondisi semacam ini menimbulkan suatu dinamika dalam diri individu gay untuk memilih menerima perbedaan yang dimilikinya atau terus berjalan mengikuti aturan-aturan dalam masyarakat agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penolakan. Dan biasanya untuk menghindari penolakan banyak individu gay yang memilih hidup secara heteroseks.
Memilih hidup secara heteroseks termasuk di dalamnya menjalin suatu hubungan seperti berpacaran atau menikah dengan seorang perempuan, merupakan hal terberat dalam hidup seorang gay.
Berikut ini merupakan penelitian yang mencoba mengkaji kehidupan seorang gay yang pernah menjalani hidup heteroseks. Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya pada tahun 2007, peneliti (Nugroho, 2007, Dimas: Gay Yang Pernah Kawin Secara Heteroseksual. Sebuah Life Story) mencoba mengkaji kehidupan seorang gay bernama “D” berusia 28 tahun dan berasal dari latar belakang keluarga militer. Setelah sebelumnya berpacaran dengan seorang laki-laki, subjek menjalani rumah tangga dengan seorang perempuan, meskipun pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan in-depth interview yang didukung oleh catatan harian dan potret diri subjek serta penelitian-penelitian yang relevan, penelitian ini menghasilkan dua hal, yaitu :
1. pemaknaan subjek mengenai orientasi seksualnya sekaligus pemaknaan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya
2. Interaksi subjek dengan budayanya dalam konteks kontruksi sosial dan perkembangan isu homoseksualitas di Indonesia
Selain itu dalam penelitian ini juga diketahui alasan seorang gay mau menjalani relasi heteroseks, yaitu: berkaitan dengan jabatan di pekerjaan, keinginan memiliki anak, adanya tekanan-tekanan dari orang-orang disekitarnya dan status sosial.
Hasil yang cukup menarik dari penelitian ini yaitu untuk urusan suami-istri subjek sering melihat blue film (BF) sebelum mulai berhubungan dengan istrinya, dan saat berhubungan dengan istrinya subjek justru membayangkan sedang melakukan hubungan seks dengan laki-laki.
Selain Nugroho terdapat juga penelitian mengenai gay lainnya yang dilakukan pada tahun 2004. Chandra (2004, Dinamika Psikologis Orientasi Seksual Pada Gay) mencoba mengetahui dinamika psikologis yang dialami oleh gay dalam menentukan orientasi seksualnya. Dalam penelitian ini subjek yang digunakan oleh Nugroho ymemiliki beberapa kriteria, yaitu :
1. Kaum gay yang berdomisili di Surabaya
2. Usia 20-40 Tahun
3. Pendidikan Minimal SMA
Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 ini lebih fokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan orientasi seksual pada gay, seperti pola asuh (relasi yang tidak “wajar” antara anak laki-laki dengan ibunya) serta perasaan-perasaan yang muncul pada gay dalam menentukan orientasi seksnya, seperti cemas dan malu serta cara mengatasi perasaan bersalah tersebut dengan bermacam cara salah satunya adalah menjalin relasi heteroseks.
Dari dua review penelitian terdahulu yang dilakukan, maka peneliti melihat suatu benang merah dari dua penelitian yang telah dilakukan, yaitu untuk menghilangkan rasa cemas akibat adanya tuntutan sosial maka seorang gay akan mengurangi rasa cemasnya dengan menjalin suatu hubungan heteroseks meskipun tanpa ada ketertarikan baik secara fisik maupun erotis pada lawan jenisnya, namun sayangnya kedua penelitian tersebut tidak menggali secara mendalam mengenai dinamika psikologis yang terjadi pada gay saat atau setelah mereka menjalin hubungan heteroseks.
Keterbatasan pada kedua penelitian di atas yang tidak menggali secara mendalam mengenai dinamika psikologis yang terjadi pada gay saat atau setelah mereka menjalin hubungan heteroseks sekaligus minimnya penelitian ilmiah yang mencoba mengkaji fenomena gay yang menjalin hubungan heteroseks , mendorong peneliti untuk mengetahui dan melakukan eksplorasi lebih mendalam lebih dalam seputar fenomena gay yang menjalin hubungan secara heteroseks ditinjau dari dinamika psikologisnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dalam penelitian
Penelitian yang berjudul “Dinamika Psikologis Pada Gay Yang Menjalin Hubungan Heteroseks” ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti ingin mengeksplorasi gambaran dinamika psikologis pada gay yang menjalani relasi heteroseks, hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Berg (2004: 7) bahwa penelitian kualitatif membantu peneliti memahami bagaimana individu memaknai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka
Pada penelitian ini tipe penelitian yang digunakan yaitu studi kasus. Bungin (2003: 20), menjelaskan studi kasus dalam metodologi adalah suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci, dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah – masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer dan kekinian. Adapun tujuan dari studi kasus sendiri yaitu memberikan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Dari karakteristik studi kasus diatas, maka tipe penelitian ini dipandang sesuai untuk mencari penjelasan mengenai gambaran dinamika psikologis pada gay yang menjalin hubungan heteroseks.
3.2. Informan penelitian
Informan yang akan digunakan pada penelitian ini sebanyak dua orang yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan berdasarkan tujuan penelitian, kriteria-kriteria informan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Informan berusia 20-30 tahun, dipilihnya batas usia tersebut karena menurut teori psikososial Erikson pada usia tersebut individu berada dalam tahap intimacy vs isolation, suatu tahap perkembangan dimana individu memiliki kebutuhan untuk menjalin suatu hubungan yang intim.
b. Informan adalah seorang gay, yang diketahui melalui wawancara awal
c. Pernah atau sedang menjalin hubungan heteroseks dalam rentang usia 20-30 tahun, hubungan yang dimaksud adalah berpacaran maupun menikah, yang diketahui melalui wawancara awal.
3.2.1. Cara mendapatkan informan
. Informan pada penelitian ini didapatkan melalui purposive, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan terlebih dahulu menentukan beberapa kriteria (Poerwandari, 1998: 56). Setelah menentukan criteria informan, peneliti memasang iklan di media elektronik, seperti situs jejaring sosial dan situs sosial khusus gay. Selain itu peneliti juga meminta bantuan teman-teman peneliti yang telah dikenal sebelumnya serta rekomendasi dari pihak-pihat tertentu, seperti LSM gay di Surabaya..
3.3. Metode pengumpulan data
Data diambil dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview), karena dengan metode ini peneliti akan mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan informasi-informasi penting dari informan, sekaligus metode ini berfungsi untuk mengeksplorasi lebih mendalam mengenai suatu peristiwa (Champion & Black, 1992: 306-309) dalam prosesnya bentuk wawancara yang digunakan yaitu semi structured interview, karena teknik ini mempermudah proses pengambilan data dengan adanya guideline. Guideline pertanyaan penelitian disini menurut Willig (2001: 22) bertujuan untuk mengarahkan proses penelitian. Menurut Willig (2001: 22) pertanyaan dalam penelitian berfungsi sebagai trigger agar informan bercerita tentang hidupnya.
Adapun guideline interview pada penelitian ini, yaitu :
1. Latar belakang informan
a. Kondisi Keluarga
b. Hubungan dengan anggota keluarga
2. Pengalaman informan mengenai orientasi seksnya
a. Pengalaman – pengalaman homoseks
b. Pengalaman – pengalaman heteroseks
3. Konflik-konflik yang muncul antara kebutuhan hubungan homoseks dan norma-norma sosial
4. Pengalaman informan menjalani hubungan heteroseks
a. Alasan memilih berhubungan heteroseks
b. Dampak yang terjadi pada informan saar menjalin hubungan heteroseks
5. Kondisi informan saat ini
Selain interview, peneliti juga menggunakan metode observasi selama proses pengambilan data dengan tujuan melengkapi hasil interview. Observasi sendiri menurut Kartono (1996: 57) merupakan suatu studi sistematis tentang suatu fenomena sosial dengan cara mengamati dan melakukan pencatatan.
3.4. Teknik analisis data
Keseluruhan data – data yang diperoleh dari hasil wawancara akan dianalisa secara kualitatif dan dijabarkan dalam bentuk deskripsi secara tertulis. Teknik analisa secara kualitatif berbeda dengan teknik dalam penelitian kuantitatif yang umumnya banyak menggunakan angka.
Menurut Hayes (2000: 173-182) prinsip teknik analisis data dalam penelitian kualitatif disebut sebagai thematic analysis. Thematic analysis yaitu suatu proses analisis data yang melibatkan pemisahan informasi menjadi tema –tema. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah inductive thematic analysis yaitu proses pemisahan data yang dilakukan peneliti tanpa menetapkan tema - tema yang akan menjadi panduan pemisahan lebih dulu.
Langkah – langkah yang harus dilakukan dalam pelaksanaan analisis data pada penelitian ini yaitu :
a. Membuat verbatim wawancara dalam bentuk transkrip yang terdiri dari kolom nomor baris, kolom verbatim, dan kolom ide.
b. Mencari ide dari hasil verbatim.
c. Tahap Koding
1. Menandai kata, kalimat, atau paragraf dari hasil verbatim yang sesuai dengan pertanyaan penelitian.
2. Menginterpretasi kata kunci dengan menggunakan gagasan subjektif peneliti.
d. Tahap Kategorisasi
Mengelompokkan gagasan yang digunakan untuk menginterpretasi data dalam kategori berdasarkan kesamaan yang ditemukan.
e. Menganalisa hasil wawancara yang telah di dukung oleh teori yang telah didapatkan kemudian mendeskripsikan secara singkat.
3.5. Validitas Penelitian
Poerwandari (1998: 117) menjelaskan dalam peneltian kualitatif salah satu validitas penelitian yang dapat digunakan adalah validitas komunikatif, yaitu validasi dilakukan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya pada responden penelitian dimana informan bisa mengkoreksi temuan penelitian yang dilaporkan oleh peneliti.
Dalam penelitian ini juga menggunakan validitas argumentatif dan ekologis. Validitas argumentatif yaitu validitas yang temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah (Poerwandari, 1998: 117). Sedangkan validitas ekologis yaitu sejauh mana studi dilakukan pd kondisi alamiah dari partisipan penelitian (Lier, 2004: 169).
Reliabilitas dalam penelitian ini adalah koherensi yakni bahwa metode yang dipilih memang mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, menurut Sarantakos (dalam Poerwandari,1998: 122-123) peneliti juga menggunakan reliabilitas diskursus yaitu sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang lain.
3.6. Etika penelitian
Dalam penelitian kualitatif ada beberapa etika penelitian yang perlu diperhatikan, antara lain (Elmes et al dalam Willig, 2001: 18) :
a. Inform consent
Informan diinformasikan mengenai prosedur penelitian dan hak-haknya dalam penelitian, sebelum penelitian dimulai.
b. Confiediality
Peneliti menjaga kerahasiaan identitas diri Informan.
c. Right to withdraw
Informan diinformasikan bahwa dirinya memiliki hak untuk mengundurkan keikutsertaannya dalam selama proses pengambilan data kapanpun tanpa rasa bersalah.
Ego ideal adalah gambaran ideal yang dimiliki seorang individu tentang suatu hal misalnya saya ingin jadi anak yang baik, maka dari itu saya harus menurut apa kata orang tua, sedangkan ego alien yaitu ego yang keberadaanya oleh si individu karena bertolak belakang dengan dorongan - dorongan yang ada dalam diri individu tersebut, misalnya saya tidak bersemangat dan merasa kesusahan kuliah di jurusan ekonomi karena saya menyenangi musik'.
Ego ideal pada gay yang memutuskan menjalin hubungan secara heteroseksual secara umum terdiri dari :
a. Keinginan menjadi anak yang patuh pada orang tua.
b. Demi tradisi keluarga, ya, ada beberapa tradisi yang mengharuskan seseorang pada usia tertentu untuk segera mencari pasangan hidup)
c. Demi status sosial dan opini publik, hal ini biasanya terjadi pada teman - teman gay yang berasal dari keluarga terpandang atau mereka sendiri adalah orang terkenal seperti public figure, jadi agar tidak dicibir masyarakat (karena di masyarakat kita apabila seseorang tidak menikah sampai usia tertentu akan menjadi pergunjingan)
d. Ingin menjadi heteroseks, banyak dari teman - teman gay yang ingin mengubah orientasi seksnya, karena masyarakat tempat mereka tinggal tidak mengijinkan adanya cinta sejenis, selain itu keinginan dari mereka agar dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat, karena mereka tidak ingin orang lain mengetahui orientasi seks mereka, jadi cara paling aman adalah berusaha menjadi heteroseks dengan bermacam - macam cara dan cara yang paling familiar dilakukan adalah mencoba menjalin relasi heteroseks
e. Lingkungan Homophobia, hidup di lingkungan heteronormativitas secara tidak langsung membuat individu - individu heteroseks menstigam negatif kaum homoseks. dan komentar - komentar negatif seperti " ih, homo jijik". "dasar maho", "maho gila" dan lain sebagainya. sekaligus adanya semacam homophobia di masyarakat membuat individu gay semakin takut kalau orang lain mengetahui orientasi seksnya. jadi lagi lagi mereka akan berusaha mati-matian merubah orientasi seks mereka atau paling tidak menutupinya di dalam relung-relung hati mereka yang terdalam.
Ketika menjalin suatu hubungan dengan perempuan, terjadi benturan - benturan antara ego ideal dan ego alien, dimana ego alien merasa tidak mampu / nyaman untuk menjalin hubungan secara heteroseks tapi di sisi lain terdapat ego ideal yang menginginkan agar si individu gay menjadi individu yang ideal di tengah masyarakat. pertentangan antara kedua ego ini lah yang kemudian memicu munculnya dinamika secara psikologis yang kemudian akan termanifestasi dalam bentuk kecemasan - kecemasan dalam hidup sehari - hari seperti susah konsentrasi kerja, emosi labil, merasa tertekan dan terus terbebani.
Akhirnya saya memberikan saran bagi teman - teman gay yang akan memutuskan untuk menjalin hubungan dengan perempuan agar memikirkan ulang konsekuensi - konsekuensi yang akan muncul di masa mendatang saat kalain sudah berpacaran atau lebih jauh menikah dengan seorang perempuan. Bisa kalian bayangkan betapa pedihnya istri kalian kalau suatu ketika mengethaui bahwa laki - laki yang selama ini tinggal satu rumah dan berbagi ranjang dengannya justru menyimpan cinta pada laki - laki lain, kalau sudah begitu siapa yang hendak dipersalahkan ?
Buat teman - teman yang memutuskan menjalin hubungan dengan seorang perempuan demi kebahagiaan orang tua kalian, yakinlah ada cara lain yang lebih bijak untuk membahagiakan mereka tanpa harus mengorbankan cinta kalian.
salam :)
BalasHapusselamat malam mas Hangga, izin buat di hadiin referensi yak tulisannya :)
suwun Mas :)